Bagian Pengantar

Ruangan itu pengap dengan cahaya yang memekak, senyap seketika hilang bersamaan dengan mata yang terbuka. Aku terbaring di sebuah kasur kecil dan keras, dengan tirai menutupi setiap sisinya. Seketika rasa tidak nyaman menyeruak sebelum aku sadar ada tiga jenis selang terpasang di tubuhku. Aku lemah, lemas, namun ujung mataku masih bisa menangkap sosok mungil berdiri dengan lunglai di ujung kasur. Selvi ada di sana, menatap cemas, lelah tidak lagi bisa disembunyikannya. Aku melenguh, belum sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi sebelum aku terbaring di sini.

“Ini jam berapa?” tanyaku lirih.

“Jam dua pagi,” jawab Selvi dengan nada yang menurutku cukup santai. Aku terdiam sejenak, pikiranku kosong, kemudian kantuk kembali menyelimuti. Aku terlelap lagi.

*

Siang sebelum aku ada di tempatku sekarang, aku tengah duduk sendirian di kasur kostku. Resah menggerogoti kesadaranku perlahan. Aku kadung kehilangan akal sehat dan secara impulsif mengeluarkan semua obat yang sudah diresepkan dokter. Aku keluarkan setiap butirnya dari plastik, lalu aku hitung, satu.., dua.. tiga… dua puluh dua… tiga puluh… empat…-sembilan puluh dua! Aku menangis saat itu. Meski dalam keadaan mengawang, aku tahu pasti apa yang hendak aku lakukan ini akan membahayakan nyawaku. Tapi aku tidak begitu peduli, aku hanya ingin berhenti merasa, aku ingin tidak sadar, aku ingin meredam suara-suara yang ada di kepalaku. Dengan air mata yang masih terus mengalir, aku raup obat-obat yang telah aku hitung tadi, tak semuanya cukup dalam satu genggaman. Genggaman demi genggaman obat aku masukkan ke dalam mulutku, aku telan dengan bantuan tegukan air, bukan hal yang mudah karena beberapa kali hampir kumuntahkan, mungkin karena jumlahnya yang sangat banyak. Pada akhirnya 92 butir obat tersebut seluruhnya masuk ke dalam sistem tubuhku.

Baru beberapa menit berlalu, seperti ada telepati, ponselku berdering, Sunny menelpon. Hatiku mencelos dan seketika aku menangis histeris begitu menjawab telpon tersebut. Awalnya dia tersenyum, sama sekali tidak mengetahui apa yang baru terjadi, ia memasang muka bingung saat aku menangis keras.

“Aku baru minum 92 tablet,” ujarku, agak tidak jelas karena tesengal-sengal.

Sunny membelalak, ekspresinya berubah drastis, “kamu ke rumah sakit sekarang! Mumpung kamu masih sadar. Aku pesanin Grab. SEKARANG!”

Kami berdebat sebentar, pada akhirnya aku mengiyakan suruhan Sunny. Aku berjalan keluar terburu-buru menuju mobil yang sudah dipesankan Sunny. Aku masuk dan hendak menutup pintu mobil, namun Pak Didin, satpam kostku berteriak memanggil dan menghampiriku.

“Mbak sakit? Ini Ibu mau ngomong sama Mbak,” ucapnya sembari memberikan ponsel yang ada di tangannya. Dari mana ibu kost tahu kalau aku sakit? Atau lebih tepatnya akan ke rumah sakit.

“Mbak Biya ada apa? Saya dapat telpon dari ambulans konfirmasi mau ke kost, ditelpon oleh Mas Rezki,” nada bicaranya tidak enak.

Ah… Rezki, benar, aku tidak sempat memberi kabar. Rezki adalah pacarku saat itu, sementara Sunny adalah mantanku. Sebelum aku memutuskan untuk overdosis, aku sempat mengirimi Rezki pesan untuk panggil ambulans jika aku mendadak tidak bisa dihubungi, karena aku sedang telpon dengan Sunny, aku tidak mengabarinya.

“Bu, saya harus ke rumah sakit sekarang,” aku berusaha untuk tenang.

“Iya, ada apa?”

“Saya minum obat kebanyakan, Bu.”

“Apa? Wah saya ngga bisa kalau gini Mbak, saya ngga terima junkie ya tinggal di kost saya. Sekarang Mbak bereskan seluruh barang Mbak dan keluar dari tempat saya,” suaranya meninggi.

“Bu, ini obat dari dokter. Saya bukan junkie dan saya harus ke rumah sakit sekarang. Bisa kita bicarakan ini nanti?”

“Ya sudah Mbak tolong kabari saya.”

Aku tahu aku dalam masalah besar jika Ibu Kost ingin mengusirku, benar-benar bukan waktu yang tepat, tapi aku harus segera ke rumah sakit sebelum efek obat yang aku minum membuat aku tidak sadarkan diri. Aku lalu berangkat ke RSAL Mintoharjo, kesadaranku mulai menurun karena setelah itu memori yang aku ingat hanya tiba di Rumah Sakit, pergi ke IGD dan menyampaikan bahwa aku minum obat melebihi dosis, menyebutkan jumlah dan jenis obatnya, lalu ingatanku menghilang.

*

Entah pukul berapa sekarang, tapi aku kembali terbangun dengan kesadaran yang lebih baik. Aku menatap sekitar, aku tidak lagi di ruangan yang sama seperti saat aku bangun di jam dua pagi tadi. Ruangan ini lebih ramai, bukan hanya ramai, namun orang tampak panik berlalu lalang. Lenguhan demi lenguhan terdengar dari pasien-pasien disampingku, lengkap dengan bunyi mesin yang membantu mereka untuk… tetap hidup, mungkin? Aku ikut melenguh, kembali menyadari tiga selang yang terpasang ditubuhku. Rupanya aku dipasangkan infus, kateter, dan selang NGT.

“Ini dimana?” tanyaku pada Selvi yang rupanya masih dengan setia menunggu.

“Kamu di RSCM,” aku kembali mengedarkan pandangan. Aku membaca label penanda yang ditempelkan di dinding, aku berada di ruangan RED ZONE.

“Kok bisa sampai sini?”

Rupanya ketika aku tak sadarkan diri di RSAL Mintoharjo, mereka sempat menghubungi Rezki dari ponselku, aku ternyata masih sadar untuk memberikan nomer Rezki. Rezki yang saat itu sedang sakit juga kemudian menghubungi Selvi untuk menghampiriku di rumah sakit. Namun ternyata sebelum itu, Sunny yang posisinya sedang di Solo sudah lebih dulu menghubungi Angga, managernya, yang kemudian datang bersama Ribka, pacar Angga yang berteman juga denganku. Selvi menceritakan bahwa di RSAL Mintoharjo BPJS ku tidak bisa digunakan sehingga aku harus dipindahkan ke RSJ Grogol. Naasnya, sampai di RSJ Grogol mereka juga tidak bisa menanganiku karena obat yang aku minum sudah masuk ke body system, mereka tidak memiliki alat yang memadai untuk menangani kondisiku saat itu. Jadilah aku dibawa ke RSCM, dimana aku langsung ditangani oleh sejumlah tenaga kesehatan, dari dokter jaga di IGD, saraf, hingga forensik.

Setelah beberapa jam, aku akhirnya sadar sepenuhnya. Aku mengecek ponselku, mencoba menelusuri apa yang terjadi sebelum akhirnya aku ada di sini, sembari mengabari kerjaan dan orang-orang yang sudah khawatir. Menjelang sore, sepasang dokter menghampiriku, mereka merupakan dokter psikiatri.

“Biya, bagaimana kabarnya?” aku bahkan tak mengenal mereka tapi mereka seperti sudah familiar denganku.

“Sudah lebih baik dok,” jawabku sekenanya.

Mereka menjelaskan bahwa aku harus dirawat di rehabilitasi. Apa yang telah aku lakukan termasuk ke dalam percobaan bunuh diri dan membutuhkan perawatan khusus, termasuk monitoring keadaan organ-organ dalamku yang bisa jadi terpengaruh akibat banyaknya jumlah obat yang aku minum. Aku ragu untuk mengiyakan, tapi Selvi meyakini aku bahwa ini merupakan keputusan yang terbaik. Setelah mempertimbangkan, akhirnya aku pun setuju.

——————————————————————————————————————–

Tulisan ini aku buat untuk membagikan pengalamanku selama di Bangsal Rehabilitasi Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) setelah aku melakukan percobaan bunuh diri dengan meminum 92 tablet obat psikiatri. Waktu yang aku habiskan di rehabilitasi cukup membekas dan membantu aku untuk menjadi lebih baik, terutama dalam aspek kesehatan mental. Tulisan ini bersifat non-fiksi atau nyata dengan tokoh yang sesungguhnya, merupakan catatan pribadi/diary untuk mengenang masa-masa saat aku mendapatkan perawatan di Bangsal Rehabilitasi RSCM.

One thought on “Bagian Pengantar

Leave a comment